Minggu, 14 Desember 2014

Terkunci, Kontroversi antara Keamanan dan Kesucian


Foto Gerbang Parahyangan Kampus UNDIKSHA

Jujur saja, sebagai umat hindu saya miris mendapati pura sebagai tempat ibadah dalam keadaan terkunci. Memang kita tidak bisa menyalahkan pengempon pura untuk tidak mengunci dengan alasan keamanan. Hal ini disebabkan banyak terjadi pencurian di areal suci, khususnya di Bali. Menanggapi masalah pencurian ini, kalau saya pribadi cukup menanggapi secara sederhana. Berarti, pencuri tersebut sudah berani berurusan dengan dunia niskala yang menjadi kepercayaan umat hindu.

Pura sebagai tempat ibadah adalah lokasi yang tepat untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Dan itu milik umat, bersama. Menurut saya, pintu gerbang pura tidak perlu dikunci. Mengapa demikian? Karena kalau sudah ada niat, walaupun dikunci seperti apa pencuri tersebut akan tetap masuk, misalnya dengan memanjat pagar. Justru dengan membuka pintu, mahasiswa atau orang yang ingin sembahyang dapat datang kapan saja. Siapa tau bersamaan dengan orang yang ingin berbuat jahat, bisa digagalkan.

Kalau alasannya adalah menjaga kesucian areal pura, saya rasa hal tersebut kurang rasional mengingat kita tidak bisa memastikan seperti apa kegiatan yang disebut tidak menjaga kesucian pura. Apakah hal-hal yang berkaitan dengan cuntaka, atau hal-hal yang berbau tidak senonoh? Saya rasa mahasiswa dan umat hindu masih punya akal sehat. Diluar itu semua, umat hindu memiliki kepercayaan pada upacara. Salah satunya adalah mecaru. Dan upacara ini dilaksanakan minimal 6 bulan sekali, biasanya saat odalan.

Bulan lalu saya mengunjungi wihara di Thailand. Disana saya mendapatkan pengetahuan, bahwa wihara bagi masyarakat adalah sebagai rumah kedua. Artinya kita bisa datang kapanpun kita mau, baik dalam keadaan senang maupun susah. Tidak peduli sedang haid, ada kematian, ataupun sedang perang. Rumah selalu terbuka.

Sama halnya dengan pura di wilayah jawa, saat malam hari tidak pernah dikunci. Pura segara di Kenjeran, Surabaya misalnya. Memiliki pusat pendidikan keagamaan (pasraman) mulai tingkat TK sampai SMA. Pura ini juga menjadi pusat kegiatan mahasiswa hindu di surabaya. Demikian juga halnya dengan pura yang ada di asrama kopassus, Cijantung. Bukan hanya tentara saja, namun masyarakat sekitar dapat datang kapanpun mereka mau.

Intinya, dari tulisan ini saya ingin berpendapat bahwa pura sebagai tempat ibadah tidak perlu dikunci. Bahkan sedapat mungkin ditingkatkan aktivitasnya, sehingga fungsinya tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai sarana edukasi dan pelestarian budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar